Kritik Matan

BAB 1 : PENDAHULUAN

A. OBYEK STUDI KRITIK MATAN

Sejak zaman sahabat, kaum muslimin telah memberikan perhatian yang sungguh-sungguh terhadap studi kritik sanad. Mereka telah melakukan penelitian akurat terhadap para periwayat berkenaan dengan keadilan (integritas pribadi) maupun kedlabitan (kapasitas intelektual) mereka. Dari dua sudut itu pula, mereka melakukan ta’dil dan tajrih maupun tautsiq (menyatakan keshiqahan) dan tadl’if (menyatakan kedla’ifan) para periwayat. Ketika mata rantai para periwayat semakin banyak, para Ulama’ meneliti pula ittishal (persambungan) ataupun inqitha’ (keterputusan) antar periwayat. Hal ini mereka lakukan karena khawatir adanya satu di antara deretan nama periwayat yang tidak bisa diakui keadilan dan kedlabitannya.

Sejalan dengan adanya kritik sanad itu, diperlukan pula adanya penelitian yang cermat terhadap isi-isi riwayat itu sendiri. Sebab kadang-kadang ada riwayat yang tidak bisa kita bayangkan berasal dari Nabi saw, sehingga para Ulama’ menolaknya, tanpa menghiraukan kualitas sanadnya. Bahkan ada riwayat yang ditolak, meskipun sanadnya shahih. Inilah yang disebut kritik matan (kritik intern).

Tuduhan Keterbatasan Para Ulama’ dalam Melakukan Kritik Matan

Orang yang dengan jelas telah melontarkan tuduhan ini adalah al-Ustadz Ahmad Amin, dan didukung pula di dalam bukunya yang lain, Dluhal Islam. Di sana beliau menyebutkan bahwa para ahli hadis sangat mengutamakan kritik ekstern, dan tidak mengendahkan kritik intern. Mereka tidak membuka usaha untuk melakukan kritik matan. Akibatnya mereka tidak pernah memperdulikan matan hadis itu sesuai atau tidak. Kemudian beliau menjelaskan, seandainya mereka banyak melakukan studi kritik matan dan tidak semata terpaku pada kritik sanad, maka pasti akan ditemukan banyak hadis yang sebenarnya palsu.

B. URGENSI OBYEK STUDI KRITIK MATAN:

1. Menghindari sikap sembrono (terlalu longgar dalam meriwayatkan hadis) dan berlebihan (terlalu ketat dalam meriwayatkan hadis) dalam meriwayatkan suatu hadis karena adanya ukuran-ukuran tertentu dalam metodologi kritik matan ini.

2. Menghadapi kemungkinan adanya kesalahan pada diri periwayat. Oleh itu, kita memerlukan kaidah-kaidah kritik matan dengan format yang lebih konkrit untuk menghadapi kemungkinan terjadinya kesalahan atau kekeliruan para periwayat ini.

3. Menghadapi musuh-musuh Islam yang memalsukan hadis dengan menggunakan sanad shahih, tetapi matannya tidak shahih. Hadis-hadis seperti itulah yang mereka jadikan sebagai sandaran untuk melakukan berbagai tuduhan terhadap Islam atau terhadap diri Rasulullah saw.

4. Menghadapi kemungkinan terjadinya kontradiksi antara beberapa riwayat. Di sini, kita harus memiliki teori kritik yang komprehensif untuk menentukan mana yang paling tepat dan pantas untuk dinisbahkan kepada Rasulullah saw. dan untuk menolak yang tidak sesuai.

C. SULITNYA MELAKUKAN PENELITIAN TERHADAP OBYEK STUDI KRITIK MATAN

1. Minimnya pembicaraan mengenai kritik matan dan metodenya. Karenanya kita hanya menemukan sedikit sekali pembicaraan mengenai tema ini. Bahkan mereka yang ahli dalam bidang ini, juga tidak banyak mengutarakan prinsip-prinsip dan metodologinya. Begitu juga, kritik matan ini masih memiliki literature sangat terbatas.

2. Terpencar-pencarnya pembahasan mengenai kritik matan. Sehinggakan kita tidak dapat melihat orang yang menyusun sebuah karya mandiri mengenai kritik matan ini selain al-Imam Ibn al-Qayyim rahimahullah di dalam risalahnya yang berjudul al-Manar al-Munif.

3. Kekhawatiran terbuangnya sebuah hadis. Di sinilah, dikhawatirkan seseorang akan terjebak pada larangan menyimpan (menyembunyikan ilmu).

D. KAJIAN PUSTAKA

Tidak adanya karya tersendiri dalam bidang kritik matan ini menjadikan kajian tentang tema ini tersebar di berbagai karya dengan berbagai disiplin (bidang).

Di antara kitab-kitab yang menjelaskan seputar bab-bab tersebut adalah Kitab Ma’rifat Ulum al-Hadis karya al-Hakim, Kitab al-Kifayah karya al-Khatib al-Baghdadi, Muqaddimah Ibn Shalah, Kitab al-Tabshirah Wa al-Tadzkirah karya al-Iraqi. Kitab al-Maqashid al-Hasanah karya as-Sakhawi, KItab al-Maudlu’at karya Ibn al-Jauzi, Kitab Tafsir al-Qur’an al-‘Adlim karya ibn Katsir, Kitab Jami’ al-Bayan al’Ilm Wa Fadllih karya al-Hafidz al-Andalus Ibn Abdil Barr, Kitab Mizan al-I’tidal karya adz-Dzahabi, Kitab Majmu’ Fatawa Syaikh al-Islam Ibn Taimiyyah, karya Ibn al-Qayyim yang berjudul al-Manar al-Munif Fi ash-Shahih Wa adl-Dla’if, Manhaj an-Naqd Inda Ulama’ al-Hadis karya Dr. Nuruddin ‘Itr, dan lain-lain.

Dengan demikian bisa dikatakan, bahwa obyek kritik matan belum ditulis secara komprehensif sampai sekarang .

E. PENDEFINISIAN ISTILAH-ISTILAH TEKNIS

Untuk keshahihan matan pula yakni “kritik intern”, mereka memberikan dua kriteria:

1. Hadis itu tidak syadz. Karena kadang-kadang sanadnya shahih, diukur dengan lima kriteria di atas, tetapi ada hadis lain, lebih shahih dan lebih kuat sanadnya, dan hadis kedua ini berbeda dengan hadis pertama, serta keduanya tidak dimungkinkan sama-sama bersumber dari Nabi saw. Dengan demikian, hadis pertama memiliki sanad shahih, tetapi matannya syadz, dan tetapi dinilai sebagai matan yang dla’if, meskipun sanadnya shahih. Sedangkan hadis kedua memiliki sanad shahih dan matannya mahdfuz,dan dinilaikan sebagai matan shahih.

2. Hadisnya itu tidak mengandungi ‘illat. Karena kadang-kadang suatu hadis memiliki sanad shahih tanpa syad, tetapi ada seorang pakar yang mampu melihat bahwa hadis mengandung cacat (‘illat qadihah). Misalnya salah seorang periwayat melakukan kekeliruan dengan memasukkan sebuah pernyataan yang sebenarnya bukan sabda Rasul saw. Bila sanad suatu hadis dinyatakan shahih, dan matannya juga tidak syadz serta tidak mengandung ‘illat, maka hadis itulah yang disebut shahih matan dan shahih sanadnya berdasarkan studi kritik yang telah kita lakukan.

BAB 2 : FAKTOR-FAKTOR PERLUNYA KRITIK MATAN

A. Merebaknya Pemalsuan Hadis Pada Masa Periwayatan.

a. Sebab-sebab yang Disengaja Dalam Pemalsuan Hadis

Sebab pertama adalah niat untuk menghancurkan Islam dari dalam.

Sebab kedua adalah pembelaan terhadap aliran yang dapat diuraikan sebagai berikut.

1. Pembelaan Terhadap Aliran Politik

Pertentangan-pertentangan politik di kalangan sahabat menimbulkan adanya berbagai aliran. Masing-masing aliran berusaha membuat hadis palsu demi membela aliran yang bersangkutan, terutama tentang pandangan-pandangan politiknya. Tampaknya, aliran Rafidlah merupakan aliran yang terbanyak membuat hadis palsu.

2. Pembelaan Terhadap Agama.

Persoalan-persoalan keagamaan, baik berkenaan dengan aqidah, ushul, furu’ atau yang lain telah memasuki ruang perdebatan. Sehingga memunculkan hadis-hadis palsu yang mengukuhkan suatu pendapat atau bahkan menolak pendapat lain yang berkaitan.

3. Pembelaan Terhadap Aliran Geografis.

Sebab ketiga, terdorong oleh motif-motif duniawi sebagaimana diuraikan berikut.

· Ingin Mendekati Penguasa. Yakni ia akan membuat hadis palsu yang sesuai dengan keinginan penguasa yang dimaksudkan, sebagai upaya untuk meraih harta dan jabatan.

· Mencari Pendukung (Massa).

Motif ini termasuk motif duniawi, sebab periwayat (pemalsu) hadis akan merasa gagah dan bangga terhadap dirinya sendiri, tatkala banyak orang berdatangan kepadanya untuk meriwayatkan hadis darinya. Seorang periwayat akan bangga membuat hadis-hadis (palsu) yang belum pernah mereka dengar.

b. Sebab-sebab yang Tidak Disengaja Dalam Pemalsuan Hadis

1. Terjadi Kekeliruan Atau Kesalahan Pada Diri Periwayat.

Kadang-kadang seorang periwayat, betapapun thisaqnya, terjerumus ke dalam kekeliruan atau kesalahan. Sehingga bisa terjadi, ia memarfu’kan suatu hadis kepada Nabi saw., yang sebenarnya hanya merupakan pertanyaan sahabat atau yang lain. Tetapi hadis semacam ini, kadang-kadang disebut hadis palsu, namun kadang-kadang disebut syibh al-maudhu’ (semi palsu).

2. Penyusupan Hadis Palsu Dalam Karya Periwayat oleh Orang lain Tanpa Sepengetahuan Dirinya.

Ini berlaku pada periwayat yang menggunakan dlabt sathr (kekuatan tulisan atau catatan), yakni bahwa seorang periwayat menjaga hadis yang diriwayatkannya di dalam catatannya yang akurat dan ia tidak sembarang menerima hadis kecuali dari periwayat yang terpercaya.

Namun demikian, ada sementara ahli hadis yang diganggu oleh pihak yang bertanggungjawab, dengan menyusupkan hadis-hadis munkar ke koleksi hadis mereka, tanpa sepengetahuan mereka. Dan tanpa disedari, mereka meriwayatkan hadis itu, serta yakin bahwa hadis itu benar-benar dari mereka.

B. Merebaknya Kekeliruan Pada Masa Periwayatan.

BAB 3: KRITIK MATAN HADIS DI KALANGAN SAHABAT DAN ULAMA HADIS

A. Kritik Matan Di Kalangan Sahabat

Sahabat memang terkenal kebanyakan kerana menerima hadis dari Rasullulah SAW adakalanya melalui perantaraan sahabat lain. Namun demikian, terkadang ada sahabat yang mendengar suatu hadis nabi SAW dari sahabat lain, tetapi mendiamkannya ,karena dia pandang tidak sejalan dengan hadis lain atau dengan pemahamannya terhadap al-Quran. Dari sini muncul dua sifat sahabat di kalangan mereka dalam merima hadis yaitu;.

1. Sikap diam, tanpa komentar dan tanpa menerimanya.

2. Mengingkari dan bahkan mengkritiknya, karena dinilai sebagai kesalahan atau kekeliruan dari sahabat yang bersangkutan.

Bila kita melihat adanya seorang sahabat yang menolak riwayat sahabat lain, atau mengkritiknya dari segi matan, maka itu tidak berarti sahabat pengkritik berada pada pihak yang benar. Sebab ‘kritik hadis’ memiliki lapangan yang amat luas dan merupakan lapangan ijtihad. Tentu saja, hasil kritikan itu disesuaikan dengan pandangan pengkritik yang bersangkutan atau kerana menurutnya, tidak sesuai dengan pemahamannya terhadap al-quran, akal sehat ataupun as-sunnah (yang lebih shahih). Namun ada sahabat lain yang tidak sependapat. Dengan demikian, masing-masing berhak mempertahankan hasil ijtihadnya. Akan tetapi, dalam praktiknya, ada sahabat yang telah mendengar hadisnya dikritik oleh sahabat lain, dia bersedia mencabut hadisnya atau membetulkannya. Tetapi ada juga sahabat yang setelah dikritik, tetap saja pada hadisnya, karena dia yakin hadisnyalah yang benar atau dia tidak merasa melakukan kesalahan periwayatan. Dan disini ada beberapa faktor kesalahan dari sahabat meriwayatkan hadis yaitu;

1. Sahabat itu meriwayatkan hadis yang didengarnya langsung dari nabi SAW, tetapi ia tidak tahu kalau hadis itu telah nasakh.

2. Dalam meriwayatkan hadis, ia menyertakan komentarnya bersama dengan redaksi hadisnya itu, sehingga diduga oleh para pendengarnya sebagai bagian dari hadis. Dan inilah yang dikenal dengan hadis mudraj .

3. Ia mengalami kekeliruan dalam letak suatu kata dalam hadis, antara satu hadis lain. dan inilah yang dikenal dengan hadis maqlub.

4. Ia meriwayatkan hadis dengan redaksinya sendiri yang memiliki cakupan lebih luas dari makna yang sebenarnya bersumber (dari) nabi saw.

5. Tidak sadar dengan pemakaian suatu kata (yang bukan kata asli dari rasul), yang sebenarnya memiliki perbedaan konotasi.

6. Ia meriwayatkan hadis bukan pada jalur yang semestinya, karena telah lupa dengan latar belakang timbulnya hadis itu (sabab al-wurud-nya)

7. Dia meriwayatkan suati hadis, secara keliru, yakni yang sebenarnya tidak bersumber dari nabi SAW, dikatakannya berasal dari beliau.

B. Kritik matan di kalangan hadis.

  1. Kritik matan dalam studi rijal al-Hadis

Ulama hadis kebanyakan mengkritik hadis terbahagi kepada 2 yaitu sanad dan matan. Dan dalam mengkritik sanad ulama hadis banyak menbahas dalam jarh wa tadil dan menjelaskan hal para periwayat atsar dilihat dari segi lahir dan wafat, tumbuh dan domisili, perjalanan mempelajari hadis, guru-guru yang ditemui dan diambil hadisnya oleh periwayat dan para periwayat yang mengambil hadis darinya dengan itu mereka bisa mengetahui dengan jelas mana sanad yang muttashil dan munqathi’. Kerana syarat ke-muttashilan adalah terpenting dengan keshahihan suatu hadis. Dan dalam kritik matan para imam memperlihatkan terhadap kehidupan para periwayat.

a. Metode para imam dalam menta’dil dan mentarjih

1. Para imam al-Jarh dan al-Ta’dil terkemuka

Ibnu abi hatim di dalam taqdimah al-ma’rifah li kitab al-jarh wa al-ta’dil menyebut sejumlah ulama yang perkataan mereka tentang para periwayat telah dihimpun dan dijadikan pegangan oleh para penulis mengenai masalah ini. Mereka itulah para kritikan terkemuka yang dijadikan oleh allah swt. Sebagai penjaga pokok-pokok islam dan tuntutan agama dan dijadikan sebagai kritikan para periwayat atsar. Mereka terdiri dari banyak thabaqah. Dan contohnya yaitu yang berasal dari thabaqah pertama malik bin anas dimadinah. Thabaqah kedua waki’ ibn al-jarah, thabaqah ketiga ahmad ibn hanbal di Baghdad, thabaqah keempat abu hatim al-razi di ray. Namun ibn hatim tidak memaparkan metode para tokoh itu didalam tajrih dan ta’dil mereka dan disela-sela kutipannya terhadap sebagian perkataan mereka tentang tajrih dan ta’dil. Ia tidak mengkutipkan untuk kita selain beberapa kalimat tentang kritik keadilan dan ke-dlabit’an, tanpa ada kritik matan yang para periwayat disela-sela kritik matan.

Tajrih berdasarkan kritik terhadap keadaan periwayat ataupun riwayatnya.

Di dalam masalah ini ada dua kategori yaitu ekstern dan intern.

-ekstren yaitu sanad apabila kita melihat jarh bisa menemukan tentang periwayat fasik, bidaah banyak lupa, hujah tidak boleh dipakai dan lain-lain.

-intern yaitu matan dan kita biasa melihat banyak riwayat yang mungkar, cacat dalam hal keadilan dan kedlabitannya, maka mereka akan menilainya dla’if dan menolaknya.

Dengan demikian, para ahli hadis menggunakan kritik matan dalam menilai ke-dla’ifan periwayat dalam dua keadaan;

(1) Ada indikator, meski hanya dalam satu riwayat, yang menunjukan bahwa kesalahan dalam riwayat itu sepenuhnya menjadi tanggung jawab periwayat yang bersangkutan.

(2) Dialah yang melakukan kesalahan didalam riwayat itu, tentu saja banyak kesalahan. Karena jika hanya sedikit, mereka tidak akan mencabut status tsiqah, sebab jarang sekali seorang periwayat tsiqah sekalipun yang terhindar dari kesalahan. Ini berarti bahwa setelah suatu hadis dikritik sanadnya, maka masih tersisa di dalamnya kemungkinan keliru dan salah. kerana tsiqah tidak berarti ia tidak pernah salah sama sekali, tetapi berarti ia sedikit atau jarang melakukan kesalahan. Karna itu tidak mungkin mencukupkan diri dengan kritik sanad, meski kritik matan juga tercakup di dalamnya. Harus tetap dilakukan kritik matan secara tersendiri. Yang penting untuk ditegaskan disini adalah bahwa kritik matan dipelihara, dilirik dan tidak dilupakan sama sekali didalam mentajrih dan men’tadil periwayat.

  1. Kritik Matan Dalam Studi Kaidah-kaidah Mushthalah

Ulama hadis menghuraikan terhadap para periwayat dan mereka member penilaian baik positif maupun negatif terhadap seorang periwayat. Kaidah Mushthalah haruslah mencakupi sanad dan matan sekaligus, sebahagian besar terfokus seputar ilmu-ilmu sanad. Pembahasan terbahagi kepada dua.1) kaidah-kaidah mushthalah antara sanad dan matan. 2) bab-bab mushthalah yang mencakup kaidah-kaidah kritik matan.

a. Kaidah-kaidah Mushthalah antara Sanad dan Matan

1) Konsentrasi Sebagian Besar Bab Mushthalah pada Sanad.

Untuk mengetahui konsentrasi Ulama’ hadis pada sanad dan matan terlebih dahulu kita mestilah mengetahui tentang bab-bab sanad dan matan.

· Yang Shahih dan Yang Cacat

· ‘Illat-illat Hadis

· Riwayat-riwayat Syadz

Faedah Fokus Pada Sanad

Membahas sanad dan kita temukan pembahasan mereka terhadap kritik matan relatif sedikit karena ia sangat penting dan berguna.

1. Kritik sanad memerlukan spesialisasi yang jelas dan kesabaran yang tuntas yang tidak dimiliki kecuali oleh para huffadh yang cerdas.

2. Jika terlanjur memperhatikan kritik matan, maka hal itu mungkin akan mendatangkan pengabaian terhadap kritik sanad.

3. Jika terlalu Banyak fokus pada kritik matan, maka kadang-kadang mengakibatkan penerimaan sejumlah hadis yang shahih maknanya tanpa mengecek periwayatnya.

a. Cakupan Bab Mushthalah terhadap Kritik Sanad dan Matan

Masalah Kritik matan yang tercecer di masa kematangan ilmu mushthalah

1. Di dalam pembahasan “ Hadis Shahih”.

2. Di dalam pembahasan “ Hadis Hasan”.

3. Di dalam pembahasan “ Hadis Mauquf”

4. Di dalam pembahasan “ Hadis Syadz”

5. Di dalam pembahasan “ Hadis Maudlu’.

b. Bab-bab Mushthalah yang Mencakup Kaidah-kaidah Kritik Matan

1. Hadis Syadz[1] 2. Hadis Mudraj[2]

4. Hadis Munkar[3] 4. Hadis Mu’all[4]

5. Hadis Mudltharib[5] 6. Hadis Maqlub[6]

7. Hadis Maudlu’ dan Tanda-tandanya[7]

Aspek Teoritis: Masalah hadis palsu ini belum dibahas secara tersendiri, meski Ulama’ telah banyak sekali mmbicarakan hadis palsu dan para pemalsu.

Aspek Praktis

Ulama hadis terdahulu tidak segan-segan menilai sejumlah riwayat sebagai palsu atau batal selama mereka memiliki alasan yang kuat, seperti Ibnu Hibban , Al-Uqaili , Al- Azdi , Al-Jauzujani dan ibnu Addi.

Hampir ada kata sepakat dari para penulis setelah Ibn al-Jauzi.bahwa ia terlalu longgar dalam penilai palsu suatu hadis. Di dalam bukunya juga ia memasukkan banyak sekali hadis dla`if yang sebetulnya tidak sampai berstatus palsu.

Meskipun secara umum kritik itu bisa dibenarkan, tetapi sebagiannya jelas dipaksakan, yang sekaligus menunjukkan pola pikiran ulama muta`akhirin yang terlalu menghindari penilaian maudlu` dan sebagian bahkan sampai lupa tanda-tanda kepalsuan hadis.

Perkataan Sahabat Mengenai Masalah Yang Tidak Menjadi Wilayah Akal.

Al-Hakim di dalam Ma`rifah Ulum al-Hadis menuturkan bahwa seorang sahabat yang menyaksikan wahyu dan proses penurunannya, jika mengkhabarkan bahwa suatu ayat turun dalam masalah begini, maka statusnya adalah hadis musnad. Maksudnya, statusnya adalah marfu` (di sandarkan kepada Nabi s.a.w).

Hakim juga menyebut jenis perkataan sahabat yang disamakan dengan musnad, yakni marfu`, meski tidak secara tegas disandarkan kepada Nabi s.a.w.

Ulama hadis telah sepakat mengenai hal ini. Mereka menjadikan jenis ini sebagai perkataan sahabat yang tidak berasal dari pendapat mereka sendiri.

Al-Hafidh al-Iraqi dan suyuthi mengatakan bahwa hadis yang datang dari sahabat secara mauquf, yang tidak bisa dikatakan berasal dari pendapat mereka, hukumnya adalah marfu`.

Mengetahui Orang yang Diterima Riwayatnya dan yang Ditolak.

Di dalam jenis ilmu hadis, ada sebagian kaidah yang memberikan pengertian tenteng ‘ktitik intern’ jenis ilmu ini telah disebut oleh Ibnu al-Shalah dan ulama` sesudahnya.Diantara kaidah-kaidah itu adalah :

· Ibnu al-Shalah berkata: kedhabitan seorang periwayat dapat diketahui dengan membandingkan (al-i`tibar) riwayat-riwayatnya dengan periwayat-periwayat tsiqah yang telah dikenal kedlabitan dan keteguhannya.

Bab 4: KRITERIA KRITIK MATAN MENURUT ULAMA HADIS

Kriteria kritik Matan Menurut Ulama` Hadis.

Al-Khatib al-Baghdadi menjadikan hadis ahad tidak bisa diterima dalam keadaan-keadaan berikut:

1- Jika menafikan hukum akal.

2- Jika menafikan al-Qur`an yang muhkam.

3- Menafikan Sunnah yang sudah maklum.

4- Menafikan praktik yang berstatus sebagai sunnah.

5- Menafikan dalil apapun yag bersifat mutlak.

6- Bertentangan dengan hadis ahad lainnya yang telah dikenal shahih.

A. Kritik Terhadap Riwayat-riwayat yang Bertentangan dengan al-Qur`an al-Karim.

Tidak diragukan bahwa riwayat manapun yang berasal dari Rasulullah s.a.w yang bertentangan dengan nash al-qur`an bukanlah kalam kenabian.

B. Kritik Terhadap Riwayat-riwayat yang Bertentangan Dengan Hadis dan Sirah Nabawiyah yang Shahih.

Syarat-Syarat Menolak Riwayat Karena Bertentangan dengan Hadis

a. Jika dimungkinkan memadukan kedua hadis, maka tidak perlu menolak salah satu dari hadis tersebut. Akan tetapi keduanya bertentangan dan tidak mungkin dipadukan maka kedua hadis tersebut harus ditarjih.

b. Hadis yang dijadikan sebagai dasar untuk menolak hadis lain yang bertentangan adalah hadis Mutawatir.

C. Kritik Terhadap Riwayat-riwayat yang Bertentangan Dengan Akal, Indera, dan Sejarah.

Termasuk hal yang menunjukkan kebatilan sebagian hadis yang diriwayatkan dari Nabi saw adalah keberadaan hadis itu bertentangan dengan akal, indera atau sejarah. Karena Nabi saw adalah utusan tuhan semesta alam tidak ada yang keluar darinya sesuatu yang bertentangan dengan hukum akal sehat, atau kenyataan yang dapat diraba dan sejarah yang benar.

D. Kritik Terhadap Hadis-hadis yang tidak menyerupai perkataan Nabi saw.

Terkadang suatu riwayat berasal dari Rasul, tidak bertentangan dengan nash (teks) al-Qur’an atau sunnah yang shahih, akal, indera, dan sejarah, tetapi riwayat tersebut tidak seperti perkataan kenabian, maka tidak dapat kita terima.

Yang terpenting dalam riwayat yang berasal dari rasul tidak terdapat keserampangan, atau makna-makna rendah, atau juga ungkapan ulama-ulama terdahulu.


[1] ) Hadis syadz yaitu hadis yang diriwayatkan oleh seorang periwayat tsiqah yang berbeda dengan riwayat orang yang lebih tsiqah lantaran banyak jumlahnya atau lebih kuat hafalannya.

[2] ) Hadis mudraj yaitu hadis yang di dalamnya masuk suatu kata atau kalimat yang sebetulnya bukan bagian hadis tersebut tanpa ada tanda pemisah.

[3] ) Hadis munkar yaitu hadis yang diriwayatkan oleh periwayat yang tidak tsiqah yang bertentangan dengan periwayat

[4] ) Hadis mu’all yaitu hadis yang diriwayatkan oleh periwayat tsiqah,yang bedasarkan telaah salah seorang kritikus ternyata mengandung’illat yang merusak keshahihannya.

[5] ) Hadis mudltharib yaitu hadis yang diriwayatkan secara beragam dan saling betentangan tanpa memungkinkan upaya pemaduan (al-jam’u) danpemilihan yang terkuat (al-tarjib).

[6] ) Hadis maqlub yaitu hadis yang di dalamnya periwayat menukar suatu kata dengan yang lainnya.

[7] ) Hadis maudlu’ yaitu hadis yang dibuat-buat oleh sebahagian periwayat dan dinisbahkannya kepada Rasulullah S.A.W secara dusta.

By hasunmax Dikirimkan di Hadis

KEWAJIBAN MEMPELAJARI AL-QUR’AN

KEWAJIBAN MEMPELAJARI AL-QUR’AN

PENDAHULUAN

Banyak informasi yang salah tentang Al-Qur’an yang disiarkan di kalangan masyarakat. Itu terjadi karena salah faham atau karena tidak mengerti sama sekali; artinya mungkin tidak ada kesengajaan untuk menyiarkan faham yang salah itu. Bagaimanapun setiap orang yang mengerti adanya kesalahan itu berkewajiban untuk meluruskannya.

Masyarakat harus dibebaskan secepatnya dari pemahaman yang salah, agar tidak terlanjur menjadi kaum yang sesat tanpa merasakan adanya kesesatan itu pada dirinya.

Selama ini orang banyak yang tidak menyadari bahwa dia memikul kewajiban yang sangat diperlukan untuk keselamatan dirinya sendiri. Kewajiban bagi setiap orang untuk mempelajari Al-Qur’an, agar dengannya dia mendapat petunjuk. Dalam kaitan dengan adanya kewajiban itulah tulisan ini disusun, mudah-mudahan berguna untuk membantu mendekatkan pemahaman terhadap Al-Qur’an.

Kepada Allah jua kembalinya segala persoalan ini dan Dia pula yang akan membalasnya.

KEWAJIBAN MEMPELAJARI AL-QUR’AN

Ada dua tinjauan yang dapat kita pakai untuk menetapkan kewajiban mempelajari Al-Qur’an. Aqli dan Naqli.

I. Tinjauan Aqli (akal)

Agama Islam (Dien Al-Islam) menyangkut soal ibadah Khas dan Mua’malah (Syari’at), Akhlaq dan Aqidah. Seseorang yang tidak mengenal agamanya, mustahil dapat menjalani ajaran agamanya dengan baik dan benar.

Orang yang tidak tahu Syari’at mudah tergelincir dalam kesalahan dan bid’ah. Yang tidak tahu Aqidah mudah tergelincir dalam bid’ah dan syirik, sedang yang tidak tahu Akhlaq paling sedikit akan tercela karena kebodohannya.

Salah satu bentuk kesesatan orang zaman dahulu adalah cara ibadah yang tidak ada tuntunannya.

Para penyembah berhala mengaku bahwa penyembahan yang mereka lakukan itu sebenarnya hanya untuk mendekatkan diri kepada Allah (!).

Tetapi perbuatan mereka itu tergolong syirik, justru karena mereka tidak tahu bagaimana seharusnya orang beribadah kepada Allah secara benar.

Al-Qur’an Sebagai Petunjuk bagi Muttaqin

Al-Qur’an adalah petunjuk bagi orang bertaqwa, sebagaimana tersebut dalam ayat:

ذَلِكَ الْكِتَابُ لاَ رَيْبَ فِيْهِ هُدًى لِلْمُتَّقِيْنَ

“Kitab itu (Al-Qur’an), tidak ada keraguan padanya, sebagai petunjuk bagi orang-orang yang bertaqwa.” S. Al-Baqarah (2):2

Untuk dapat menjalani dengan benar dan menjadikan agama sebagai petunjuknya, seseorang harus memahaminya; untuk dapat memahami, dia harus mempelajarinya. Menurut logika, orang hanya akan dapat mempergunakan Al-Qur’an sebagai petunjuk jika faham isinya. Sedang kefahaman hanya diperoleh lewat belajar, dalam hal ini berguru.

Dapat kita katakan bahwa tanpa mempelajari Al-Qur’an tidak mungkin orang mendapat petunjuk jalan yang benar dan terbebaskan dari kesesatan.

Kewajiban Menuntut Ilmu

Orang sering menyatakan bahwa menurut ajaran Islam setiap orang diwajibkan belajar/menuntut ilmu. Dalam soal ini sebenarnya ada hadits;

عَنْ عَبْدِ اللَّـهِ بْنِ عَمْرٍى قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللَّـهِ صَلَّى اللَّـهُ عَلَيْهِ وَ آلِهِ وَ سَلَّمَ (( العِلْمُ ثَلاَثَةٌ فَمَا وَرَاءَ ذلِكَ فَهُوَ فَضْلٌ آيَةٌ مُحْكَمَةٌ أَوْ سُنَّةٌ قَائِمَةٌ أَوْ فَرِيْضَةٌ عَادِلَةٌ)). أخرجه ابن ماجة

“Dari Abdullah bin Amru, berkata: Telah bersabda Rasulullah shallallahu alaihi wa alihi wa sallam: “Ilmu (yang pokok) itu ada tiga. Adapun yang selain tiga itu adalah kelebihan (keutamaan): Ayat Muhkamah atau Sunnah yang tegak atau Faraidl yang adil.”

Dikeluarkan oleh ibnu Majah, hadits No.54.

Hadits ini menunjukkan bahwa ilmu-ilmu yang muslimin wajib menuntut dan mempelajarinya itu yang pokok adalah: Al-Qur’an, As-Sunnah (yang diketahui lewat Al-Hadits) dan faraidl yang benar, yang adil. Sedang ilmu-ilmu selain yang tiga itu sifatnya sebagai keutamaan, sebagai tambahan.

Sesuatu yang berfungsi sebagai tambahan itu baru diperlukan tatkala yang pokok sudah tersedia. Tanpa adanya barang pokok, barang tambahan jadi kurang diperlukan, dan bahkan dapat menjadi sia-sia belaka.

Demikian pula halnya dengan Al-Qur’an. Sebagai barang pokok dia harus ada dan sekaligus menjadikan ilmu-ilmu yang lain bermanfaat. Sebaliknya, ketiadaannya menjadikan ilmu-ilmu lain kurang manfaatnya atau bahkan tidak berguna sama sekali. Artinya, jikalau seseorang mempelajari ilmu dunia (tidak pokok) sedang dia tidak mempelajari Al-Qur’an sama sekali, maka apa yang dia pelajari itu tidak membuat dia baik, bahkan memalukan. Sebaliknya, apabila orang sudah mempelajari Al-Qur’an, maka ilmu lain yang dia pelajari menjadikan dia semakin baik dan semakin bertambah kebaikan dan keutamaannya.

Kalau kita gambarkan bahwa pakaian yang pokok itu adalah baju dan celana, sedang dasi itu sebagai pakaian tambahan (aksesori), pernahkah anda renungkan, bagaimana keadaan seseorang yang tampan, mengenakan dasi yang amat bagus dan mahal, sementara itu dia lupa mengenakan kemeja dan celana atau bahkan sengaja tidak memakainya? Inilah gambaran orang yang menuntut ilmu selain Al-Qur’an, sedang dalam waktu yang sama dia tidak pernah mempelajari Al-Qur’an.

II- TINJAUAN NAQLI (NASH)

Allah Mewajibkan Al-Qur’an kepada Muslimin

Tatkala Allah memberikan kewajiban kepada manusia agar beribadah/mengabdi kepada-Nya, Allah menurunkan juga petunjuk tentang tata cara ibadah/pengabdian itu. Petunjuk itu berupa Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah shallallahu alaihi wa alihi wa sallam yang sekaligus merupakan penjelasan bagi Al-Qur’an.

Untuk kepruan ibadah itu juga, Allah berikan petunjuk berupa Al-Qur’an yang harus diamalkan. Pengamalan ini tidak mungkin dilaksanakan kecuali dengan pemahaman. Dalam kaitan perwajiban ini Allah berfirman:

سُوْرَةٌ أَنْزَلْنَاهَا وَ فَرَضْنَاهَا وَ أَنْزَلْنَا فِيْهَا آيَاتٍ بَيِّنَاتٍ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ

“(Ini adalah) Satu surat yang Kami menurunkannya dan Kami mewajibkannya serta Kami turunkan padanya itu ayat-ayat yang terang, supaya kalian mengambil pengertian.” S. An-Nur (24): 1.

Dalam ayat inii kita dapatkan bahwa Allah mewajibkan hukum-hukum wajib yang dibawa Al-Qur’an. Orang tidak mungkin mengerti mana wajib dan mana bukan wajib, apabila tidak mengetahui maksud/makna Al-Qur’an. Untuk itu orang harus mempelajari Al-Qur’an.

Nasib Orang yang Berpaling dari Al-Qur’an

Ada orang selama hidup melalaikan Al-Qur’an. Kelalaian ini akan membawa akibat atas dirinya, sebagaimana firman Nya:

وَ مَنْ أَعْرَضَ عَنْ ذِكْرِي فَإِنَّ لَهُ مَعِيْشَةً ضَنْكًا وَ نَحْشُرُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَعَمَى. قَالَ رَبِّ لِمَ حَشَرْتَنِي أَعَمَى وَ كُنْتُ بَصِيْرًا. قَالَ كَذلِكَ أَتَتْكَ آيَتُنَا فَنَسِيْتَهَا وَ كَذلِكَ الْيَوْمَ تُنْسَى.

“Dan barangsiapa berpalling dari peringatan Ku, maka sesungguhnya baginya ada penghidupan yang sempit dan Kami akan mengumpulkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta.

Dia akan berkata, “Wahai pemeliharaku ! Kenapa Kau kumpulkan aku dalam keadaan buta, sedang aku dahulunya melihat?!”

Allah berfirman, “Demikianlah, dahulu telah datang kepadamu ayat-ayat Kami lalu engkau melupakannya. Maka begitu juga pada hari ini engkau dilupakan.”

S. Thaha (20) : 124-126

Orang yang berpaling dari Al-Qur’an dan melupakannya adalah mereka yang tidak mau beramal seperti yang diperintahkan dalam Al-Qur’an, sama saja sengaja atau tidak. Mereka diancam akan dikumpulkan pada hari Kiamat dalam keadaan buta. Lalu manakah orang yang tidak berpaling dan tidak melupakan Al-Qur’an, jika diberi hidup di dunia sampai puluhan tahun, sempat mempelajari Biologi, Fisika, Kimia dan lain-lainnya, sedang dia tidak sempat mempelajari Al-Qur’an?!

Orang Tersesat Merasa Mendapat Petunjuk

Ada kalanya manusia terhalang dari kebaikan, sementara dia merasa berada dalam kebenaran sebagaimana firman Allah:

وَ مَنْ يَعْشُ عَنْ ذِكْرِ الرَّحْمَنِ نُقَيِّضْ لَهُ شَيْطَانًا فَهُوَ لَهُ قَرِيْنٌ. وَ إِنَّهُمْ لَيَصُدُّوْنَهُمْ عَنِ السَّبِيْلِ وَ يَحْسَبُوْنَ أَنَّهُمْ مُهْتَدُوْنَ.

“Dan barangsiapa berpaling dari mengingat Ar-Rahman, kami gandengkan syaithan baginya lalu dia menjadi teman baginya. Dan sesungguhnya mereka (para syaithan) itu sungguh menghalangi mereka dari jalan yang lurus, sedang mereka menyangka bahwa mereka itu orang yang mendapat petunjuk.”

S. Az-Zukhruf (43) : 36-37.

Sesuai dengan namanya, salah satu fungsi Al-Qur’an adalah untuk bacaan dan sekaligus Dzikir. Karena itu berpaling dari Al-Qur’an juga sekaligus berpaling dari salah satu fungsinya, yakni Dzikir (mengingat) Allah. Perpalingan ini mengakibatkan pergandengan dengan syaithan yang menghalangi dari jalan Allah, sedang yang terhalangi merasa dirinya di tempat yang benar.

Untuk menghindari ini, jalan keluarnya adalah mempelajari Al-Qur’an. Dalam ayat lain kita dapatkan firman Nya:

إِنَّ الَّذِي فَرَضَ عَلَيْكَ الْقُرْآنُ إِلَى مَعَادٍ. قُلْ رَبِّي أَعَلَمُ مَنْ جَاءَ بِالهُدَى وَ مَنْ هُوَ فِي ضَلاَلٍ مُبِيْنٍ.

“Sesungguhnya Yang Mewajibkan Al-Qur’an atasmu itu akan mengembalikanmu ke tempat kembali (semula). Katakanlah, “Pemeliharaku lebih mengetahui siapa yang datang dengan petunjuk dan siapa yang dia itu berada dalam kesesatan yang nyata.”

S. Al-Qoshos (28) : 85.

Dalam ayat ini terkandung pengertian bahwa Allah telah mewajibkan Al-Qur’an kepada Nabi shallallahu alaihi wa alihi wa sallam untuk mengamalkan dan menyampaikan.

Menurut kaidah Ushul setiap perintah kepada Nabi shallallahu alaihi wa alihi wa sallam berlaku juga atas sekalian ummatnya, kecuali kalau ada keterangan yang menunjukkan kekhususannya. Demikian juga kewajiban tentang Al-Qur’an. Yang berkewajiban adalah Nabi shallallahu alaihi wa alihi wa sallam dan seluruh ummat beliau.

Tersesat Selagi Belum Belajar Al-Qur’an

هُوَ الَّذِي بَعَثَ فِي اْلأُمِّيِّيْنَ رَسُوْلاً مِنْهُمْ يَتْلُوا عَلَيْهِمْ آيَاتِهِ وَ يُزَكِّيْهِمْ وَ يُعَلِّمُهُمُ الْكِتَابَ وَ الْحِكْمَةَ وَ إِنْ كَانُوا مِنْ قَبْلُ لَفِي ضَلاَلٍ مُبِيْنٍ.

“Dia (Allah) Yang telah membangkitkan di kalangan kaum ummiy (tidak dapat menulis) seorang Rasul dari kalangan mereka yang membacakan ayat-ayat Nya kepada mereka, dan mensucikan mereka, serta mengajar mereka Al-Kitab dan Al-Hikmah. Dan adalah mereka itu sebelumnya berada dalam kesesatan yang nyata.”

S. Al-Jumu’ah (62) : 2

Ayat ini menerangkan bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa alihi wa sallam diutus dari kalangan kaumnya yang buta huruf, dengan tugas membacakan ayat-ayat Allah, mensucikan mereka (dengan mengamalkan ajaran Islam) dan mengajar mereka Al-Kitab (Al-Qur’an) dan Al-Hikmah.

Kemudian diterangkan pula bahwa sebelum menerima semua itu (termasuk pengajaran Al-Kitab) mereka masih berada dalam kesesatan.

Dengan demikian, untuk terlepas dari kesesatan, orang harus mendengarkan pembacaann Al-Qur’an, mengamalkan ajaran-ajaran Islam dan mempelajari Al-Qur’an serta As-Sunnah, si mana yang disebut terakhir itu sebagai penjelasannya.

Kita dapatkan bahwa mengaku sebagai seorang muslim saja tidak cukup. Setiap muslim harus mengenal agamanya sendiri, harus mengetahui Al-Qur’an. Dan ini hanya dapat diperoleh dengan belajar, dengan berguru.

Dapatkah Kita Belajar Sendiri?

Sudah terbukti bahwa pada banyak cabang ilmu pengetahuan, orang dapat belajar dan bahkan menggali sendiri ilmu tersebut.

Tetapi agak berbeda dalam soal Dien Al-Islam.

Dien Al-Islam dipelajari tidak sekedar untuk pengetahuan, melainkan untuk diyakini dann diamalkan. Pendekatan terhadap Dien Al-Islam tidaklah seperti pendekatan kita terhadap ilmu pengetahuan pada umumnya. Ada bagian-bagian yang memang orang dapat menggalinya kalau sudah tiba waktunya, sesuai dengan kemampuannya. Tetapi ada bagian lain yang mau tidak mau orang harus mendengar dan menerima penjelasan. Begitulah Dien Al-Islam dan begitulah Al-Qur’an.

Untuk mempelajari Dien Al-Islam dengan selamat dan benar, dalam hal ini mempelajari Al-Qur’an, orang sebaiknya berguru. Belajar dari kitab terjemahan sungguh tidak dianjurkan, walaupun kita tidak punya hak untuk melarang. Di lapangan banyak ditemukan orang salah memahami Al-Qur’an karena belajar sendiri dengan mengandalkan kitab terjemahan. Yang sangat menyedihkan, dia menyampaikan dan mengajarkan pengertian yang salah itu kepada orang lain.

Hassan, penyusun kitab Tafsir Al-Furqan, menyatakan dalam pendahuluannya pada Fasal 3:

JANGAN FAHAM DARI TERJEMAHAN

Qur’an itu dalam bahasa Arab; kita salin ke bahasa kita supaya kita faham. Telah ma’lum di antara ahli-ahli bahasa, bahwa kalau kitaterjemahkan satu kalimat dari bahasa A umpamanya, ke bahasa B, maka belum tentu apa-apa yang kita faham dari bahasa A itu bisa juga kita faham dari bahasa B.

Dari itu, apa-apa “faham” yang kita dapat dari tafsir bahasa Indonesia, di tafsir ini, belum tentu itupun atau itulah yang dimaksudkan oleh ayat.

Apa dan Bagaimana Mempelajari Al-Qur’an?

Allah Ta’ala berfirman :

لاَتُحَرِّكْ بِهِ لِسَانَكَ لِتَعْجَلَ بِهِ. إِنَّ عَلَيْنَا جَمْعَهُ وَ قُرآنَهُ. فَإِذَا قَرَأْنَاهُ فَاتَّبِعْ قُرْآنَهُ. ثُمَّ إِنَّ عَلَيْنَا بَيَانَهُ.

“Jangan engkau gerakkan lisanmu dengan sebabnya (Al-Qur’an) lantaran engkau hendak menyegerakannya. Sesungguhnya atas tanggungan Kami pengumpulannya dan bacaannya. Maka apabila Kami telah membacakannya, ikutilah bacaannya itu. Kemudian atas tanggungan Kami penjelasannya.”

S.Al-Qiyamah (75) : 16-19

Ayat-ayat ini menunjukkan bahwa terkumpulnya Al-Qur’an, bacaan dan penjelasan atau tafsir Al-Qur’an itu menjadi tanggungan dan jaminan Allah. Artinya adanya al-Qur’an yang 30 juz dengan urut-urutan surat sebagaimana yang telah kita lihat, bunyi bacaan serta penjelasannya itu semua jadi tanggungan Allah, terserah Allah dan ditentukan Allah. Perkara-perkara inilah yang perlu kita pelajari. Kita perlu tahu bagaimana bunyi bacaan seperti yang Allah kehendaki itu, kemudian bagaimana Allah kehendaki (maksud) dengan bacaan yang Dia tentukan itu.

Di samping itu, menurut bahasa, Qur’an bearti bacaan atau sesuatu yang dibaca. Dari segi penamaannya saja sudah dapat dimengerti kalau Al-Qur’an mesti dipelajari bacaannya.

Dilihat dari segi fungsi Al-Qur’an sebagai petunjuk, dengan sendirinya yang harus dipelajari adalah isi dan maksudnya. Ini yang kita dapatkan dari penjelasan atau tafsir tersebut. Untuk segala kepentingan dalam ibadah dan kehidupan sehari-hari agar tidak menyalahi Al-Qur’an, orang harus mempelajari isi Al-Qur’an.

Sebagai tambahan dapat diberitahukan bahwa kalau seseorang mau mempelajari Al-Qur’an sekedar untuk keperluannya sendiri, sebagai tadzkirah bagi dirinya sendiri, maka dia hanya memerlukan waktu belajar efektif selama 3 (tiga) bulan saja. Selebihnya, dia sudah mulai mendalami.

Yang diperlukan ialah niat yang tulus, kemauan dan seorang guru yang faham. Mulailah dan dengan petunjuk Allah Ta’ala, anda akan berhasil.